Monday, June 26, 2023

Nietzsche dan Amor fati

 


Friedrich Nietzsche, seorang filsuf abad ke-19, memiliki pemikiran yang unik tentang amorfati. Konsep amorfati dalam pemikiran Nietzsche mengacu pada penerimaan dan keberanian dalam menghadapi realita, termasuk penderitaan dan ketidakpastian hidup.


Bagi Nietzsche, amorfati adalah keberanian untuk melihat kehidupan dengan segala kompleksitas dan paradoksnya tanpa mencari pembenaran atau arti yang objektif. Ia menolak pandangan bahwa ada tujuan tertinggi atau arti baku dalam kehidupan manusia. Sebaliknya, Nietzsche menekankan pada pentingnya menerima kenyataan sebagai sumber kekuatan dan kebijaksanaan.


Nietzsche berpendapat bahwa manusia cenderung mencari arti dan tujuan dalam kehidupan, tetapi ia menolak gagasan bahwa ada tujuan atau makna yang ada secara inheren di alam semesta. Menurutnya, keyakinan pada tujuan atau makna absolut hanya menghasilkan kekecewaan dan kehancuran. Oleh karena itu, Nietzsche membawakan konsep amorfati sebagai alternatif untuk mencapai kebebasan dan kebahagiaan yang sejati.


Dalam pandangan Nietzsche, amorfati bukan berarti apatis atau pasif. Sebaliknya, amorfati melibatkan penerimaan penuh terhadap realitas yang ada dan keberanian untuk hidup dalam ketidakpastian. Nietzsche percaya bahwa dengan menerima realitas yang ada dan tidak mencari pembenaran atau arti yang objektif, manusia dapat menemukan kebebasan dan kreativitas yang murni. 


Dalam karyanya yang terkenal, Thus Spoke Zarathustra, Nietzsche menekankan pentingnya mengadopsi sikap amorfati sebagai jalan menuju kehidupan yang penuh makna. Ia mengajak manusia untuk melampaui pemahaman konvensional tentang kebaikan dan kejahatan, serta menemukan kekuatan dalam menerima hidup dalam segala aspeknya.


Pemikiran Nietzsche tentang amorfati tidak terlepas dari konteks pemikiran dan pandangannya yang lebih luas. Ia adalah seorang kritikus tajam terhadap idea fixed termasuk agama dan moralitas tradisional, serta memiliki pandangan yang kompleks tentang eksistensialisme dan perspektivisme. Oleh karena itu, pemahaman tentang konsep amorfati Nietzsche harus melibatkan eksplorasi yang lebih mendalam terhadap karya-karyanya secara keseluruhan.

Saturday, June 24, 2023

Muhammad Iqbal dan Islam


Muhammad Iqbal atau Allamah Iqbal adalah seorang filosof, politisi sekaligus penyair Muslim yang mementingkan perbuatan atau tindakan. Sebagai seorang filosof yang membela perlunya manusia melakukan tidakan, ia tidak menyetujui pendapat, bahwa tugas seorang filosof tidak lain hanyalah "untuk memahami dunia". Baginya, dunia bukanlah sesuatu yang hanya harus dilihat atau dikenal melalui konsep-konsep, tetapi sesuatu yang harus dibentuk dan dibentuk lagi melalui tindakan yang tak pernah berhenti. Pengetahuannya yang mendalam mengenai Islam dan dibarengi dengan penguasaannya yang tinggi terhadap sistem pemikiran filsafat Barat, menjadikan dia sebagai seorang Muslim yang sangat kritis terhadap perkembangan dunia Islam.


Pada masa awal kehidupannya, kondisi sosial-politik dan keagamaan ummat Islam, berada pada titik kehancuran. Islam yang dipahaminya sebagai agama yang sangat dinamis dan progresif telah kehilangan dinamika dan kreativitasnya. Ummat Islam yang dahulu menjadi sumber inspirasi pengetahuan dan pencipta-pencipta peradaban, menjadi lumpuh, tak berdaya dan kehilangan daya tariknya. Agama yang mereka anut tidak lagi Islam yang murni, melainkan Islam yang telah bercampur dengan faham dan praktek tarekat maupun sufistik. Kebebasan berpikir dan berkehendak menjadi tabu atau haram, karena adanya claim atau otoritas tertentu yang menyatakan bahwa pintu ijtihad telah tertutup. Sikap dan pemahaman ortodoksi yang bersifat skolastik serta pengulangan kata-kata yang melebihi dari cukup dan tidak luwes, mewarnai kehidupan mereka. Akibatnya, pemikiran Islam terkesan kaku, normatif dan monolitik.


Semua kondisi ini, menyadarkan dirinya untuk membangun suatu konsep atau gagasan, guna merespon, mengantisipasi dan sekaligus memobilisir semangat ummat Islam yang telah hilang dan ditinggalkan selama berabad-abad lamanya. Mula- mula ia membangun konsep ego, kedirian atau personalitas, yang merupakan pusat dan landasan keseluruhan organisasi kehidupan manusia atau sebagai ego yang menyadari akan eksistensi dirinya, lalu dengan kesadaran personalitas ini, ia menerapkan konsep kebebasan, sebagai manifestasi diri dan rasa tanggung jawab manusia sebagai khalifah Tuhan di bumi. Dan akhirnya, kedua konsep ini menurutnya tidak akan memiliki makna apa-apa, bila tidak dibarengi dengan perbuatan atau tindakan.


Oleh karena itu, implementasi konsep tersebut, ia wujudkan dalam bentuk kritikannya terhadap sistem pemikiran dalam Islam, terutama khazanah pemikiran Islam klasik. Ia mengeritik para teolog, filosof dan sufi Islam, karena kecenderungan berpikir Hellenistik mereka yang bersifat metafisik dan spekulatif. Padahal al-Qur'an pada dasarnya anti klasik dan sangat menjunjung tinggi hal-hal yang bersifat empirik. Ia juga mengeritik kalangan Sunni yang telah memagari ijtihad mutlak dan syarat-syarat yang hampir tak mungkin direalisasikan dalam diri seseorang, dan menegaskan ketidaksetujuannya dengan doktrin tertutupnya pintu ijtihad.


Dengan pengamatan Iqbal yang tajam terhadap keempat disiplin ilmu keislaman klasik, ia berkesimpulan bahwa kemunduran ummat Islam disebabkan karena sikap dan budaya mistisisme asketik yang mematikan dinamika.Dan juga adanya idealisasi capaian-capaian masa lampau yang memberhalakan pemikir-pemikir besar. 


Karena itu, kemajuan ummat Islam hanya bisa bangkit atau diperoleh kembali, jika ummat Islam menyadari akan pentingnya kehidupan duniawi yang dinamis dan progresif, digantikannya sistem berpikir atau epistemologi yang bercorak rasionalisme menjadi epistemologi yang bercorak empirisme, dan menemukan kembali dasar-dasar kemerdekaan yang universal dengan prinsip ijtihad atau prinsip gerak dalam struktur Islam.


Maka dari itu untuk mengantisipasi dan sekaligus merealisasikan semangat berpikir Iqbal,  berdasarkan sistem dan metode berpikir filosofisnya, terbentuklah suatu faham kebebasan dalam Islam, yang disebut dengan liberalisme Islam, yaitu suatu paham kebebasan yang berkeinginan merekonstruksi dan membumikan ajaran-ajaran agama secara nyata dalam kehidupan modern, berdasarkan nilai- nilai al-Qur'an.


Sumber gambar: https://id.pinterest.com/pin/526921225132154825/

https://id.m.wikipedia.org/wiki/Muhammad_Iqbal

https://media.neliti.com/media/publications/58165-ID-none.pdf

http://repository.iainpalu.ac.id/932/1/GAGASAN%20ISLAM%20LIBERAL%20MUHAMMAD%20IQBAL.pdf

Rekonstruksi Pemikiran Islam - Muhammad Iqbal

Thursday, June 22, 2023

Stigma keimanan yang lemah

 Kelemahan iman sering dianggap buruk bagi para pengiman agama, tentu saja benar adanya. Orang-orang yang ingin bunuh diri, keluar dari agama yang dianut atau berselisih paham dengan kebanyakan para pemuka agama. Inilah yang disebut imannya lemah oleh mereka yang imannya kuat dalam beragama. 


Karena dogma yang dipatenkan terhadap kegoncangan iman adalah awal dari segala permasalahan ini. Terlebih lagi karena disangkutpautkan dengan murkanya Tuhan. Bukan saja Tuhan yang murka tapi para pengimannya juga akan ikut ikutan murka. Tapi memang begitulah standar keimanan yang populer. 


Kebenaran kolektif semacam ini, membuat orang orang yang terindikasi imannya lemah akan terisolasi dan bertaqiyah atau jadi bunglon demi keharmonisan hidup bersosial. Manner is matter.